EnglishFrenchGermanItalianPortugueseRussianSpanish

19 Juni 2011

BID'AH-BID'AH DI BULAN RAJAB

Bid’ah yang umumnya terjadi di bulan Rajab adalah mengkhususkan bulan ini untuk melakukan amal ibadah tertentu, seperti puasa shalat malam, shalat Raghaib, dan semacamnya. Mereka yang melakukan hal ini biasanya berdalil dengan hadis dhaif dan hadis palsu. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan: Mengkhususkan bulan Rajab…. untuk berpuasa dan i’tikaf, tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya, dan tidak pula dari para ulama kaum muslimin masa silam. Sebaliknya, disebutkan dalam hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpusa Sya’ban. Dan beliau tidak berpuasa dalam satu tahun yang lebih banyak dari pada puasa beliau di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari & Muslim).” (Majmu’ Fatawa, 25/ 290 – 291)
Syaikhul Islam juga mengatakan: Sesungguhnya mengagungkan bulan Rajab (dengan memperbanyak amal) termasuk perbuatan bid’ah yang selayaknya dihindari. Demikian pula menjadikan bulan Rajab sebagai momen khusus untuk melaksanakan puasa, termasuk perbuatan makruh (dibenci), menurut Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya. (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 2/624 – 625)
Secara khusus ada beberapa amalan bid’ah yang sering dilakukan di bulan Rajab, diantaranya adalah:
Pertama, Shalat Raghaib
Bid’ah ini berdasarkan satu hadis palsu yang panjang, menceritakan tentang tata cara shalat Raghaib, do’a-do’anya, dan janji pahala yang akan diperoleh bagi setiap orang yang melaksanakannya dengan sempurna. Para ulama telah sepakat bahwa hadis tentang shalat Raghaib adalah hadis palsu. As Syaukani mengatakan: “Para ulama pakar hadis telah sepakat bahwa hadis tentang shalat Raghaib adalah hadis palsu.” (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 47 – 48). keterangan yang sama juga disampaikan oleh Al Fairuz Abadzi As Syafi’i.
Imam Ibnul Jauzi mengatakan: “Orang yang membuat hadis ini menetapkan aturan bahwa orang yang hendak melaksanakan shalat Raghaib harus berpuasa terlebih dahulu di siang harinya. Kemudian dia tidak boleh berbuka sampai melaksanakan shalat maghrib dan shalat sunah Raghaib. Dalam shalat ini, dia harus membaca tasbih panjang sekali dan bacaan sujud yang sangat panjang. Sehingga orang yang melaksanakan amalan ini akan merasakan keletihan yang luar biasa. Sungguh saya merasa cemburu dengan Ramadlan dan shalat tarawih. Bagaimana seseorang lebih memilih shalat ini dibandingkan puasa Ramadlan dan tarawih. Namun sebaliknya, masyarakat lebih memilih dan lebih memperhatikan shalat ini, sehingga orang yang tidak pernah shalat jamaah-pun ikut menghadirinya.” (Al Maudhu’at, 2/125 – 126)
Kedua, Peringatan Isra’ dan Mi’raj
Tanggal 27 Rajab menjadi satu agenda penting bagi kaum muslimin. Mereka meyakini bahwa pada tanggal itu terjadi peristiwa isra dan mi’raj. Padahal para ulama berselisih pendapat tentang tanggal terjadinya isra – mi’raj. Disebutkan oleh Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarokfuri, ada sekitar 6 pendapat ulama, terkait dengan tanggal kejadian isra – mi’raj. Salah satunya adalah tanggal 27 Rajab tahun ke-10 setelah beliau diutus sebagai nabi. Namun pendapat ini tertolak, karena para ahli sejarah menegaskan bahwa Khadijah meninggal di bulan Ramadlan tahun kesepuluh setelah kenabian. Sampai Khadijah meninggal belum ada kewajiban shalat lima waktu.
Para ulama sepakat bahwa peringatan isra – mi’raj adalah acara bid’ah. Ibnul Qoyim menukil keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, yang mengatakan: “Tidak diketahui dari seorang-pun kaum muslimin, yang menjadikan malam isra – mi’raj lebih utama dibandingkan malam yang lainnya. Lebih-lebih menganggap bahwa malam isra lebih mullia dibandingkan lailatul qadar. Tidak seorang-pun sahabat, maupun tabi’in yang mengkhususkan malam isra dengan kegiatan tertentu, dan mereka juga tidak memperingati malam ini. Karena itu, tidak diketahui secara pasti, kapan tanggal kejadian isra – mi’rah.” (Zadul Ma’ad, 1/58 – 59)
Ibnu Nuhas mengatakan: “Memperingati malam isra – mi’raj adalah bid’ah yang besar dalam urusan agama. Termasuk perkara baru yang dibuat-buat teman-teman setan.” (Tanbihul Ghafilin, hal. 379 – 380. Dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 138)
sumber : muslimah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar